Dunia Usaha Harus Punya Tanggung Jawab Sosial
Corporate social responsibility (Tanggungjawab Sosial Perusahaan) adalah suatu keharusan bagi dunia usaha. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Anandh Panyarachun Mantan Perdana Menteri Thailand pada Asian forum on CSR pada tanggal 18 September tahun 2003 yang lalu di Bangkok. Menurut Anand CSR dipandang sebagai suatu keharusan untuk membangun citra yang baik dan terpercaya bagi perusahaan. Melaksanakan praktek-praktek yang bertanggungjawab secara lingkungan dan social akan meningkatkan nilai pemegang sahan dan berdampak pada peningkatan prestasi keuangan serta menjamin sukses yang berkelanjutan bagi perusahaan.
Sedangkan World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) mendefiniskan CSR sebagai komitmen dunia usaha untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan; bekerja dengan para karyawan dan keluarganya, masyarakat tempatan dan masyarakat secara luas dalam meningkatkan kualitas hidup mereka.
Titik berat perhatian CSR ini difokuskan pada tiga aspek yaitu; keuntungan, lokomotif ekonomi, aspek social dan lingkungan. Sudah selayaknya keberadaan sebuah dunia usaha memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin dengan memanfaatkan semua potensi dan sumberdaya yang ada. Namun dalam mengejar keuntungan ini dunia usaha harus bisa berbagai dengan memainkan peran untuk menjadi lokomotif perputaran ekonomi bukan melakukan kegiatan monopoli terhadap semua aspek ekonomi. Disisi lain perusahaan juga harus memperhatikan aspek social dimana mereka beroperasi tentunya dengan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan social kemasyarakatan. Karena keberadaan perusahaan akan memberikan dampak social dan lingkungan maka menjadi sebuah kewajiban untuk melakukan langkah-langkah positif agar kualitas lingkungan tetap terjaga dengan melakukan kegiatan usaha yang ramah lingkungan dan dari aspek social tentunya membantu kegiatan yang bermuara pada peningkatan kualitas hidup dan mempertahankan keberadaan nilai dan norma budaya yang biasanya rentan terkikis akibat banyak masuknya nilai baru yang dibawa tenaga kerja dari luar daerah operasional.
Jika didedah lebih dalam secara umum kontribusi social perusahaan itu dapat dibagi menjadi 5 katagori yaitu; Charity, promosi, facility, security dan money loundering. Yang masing-masing katagori ini memiliki tujuan yang berbeda yang tentunya akan mempengaruhi secara langsung program community development yang akan dilaksanakan.
Program yang berangkat dari katagori charity biasanya bersifat mengatasi masalah sesaat dan bersifat jangka pendek. Promosi bertujuan untuk membangun image building, facility berorinetasi pada pengurangan pajak, security bermuara pada prosperity sedangkan money laundering bertujuan untuk melakukan kegiatan manipulasi. Dalam prakteknya kedermawanan dunia usaha (philanthropy) sering diartikan sama dengan dengan charity padahal berbeda jauh, walaupun sama-sama mengandung makna keikhlasan dalam memberi. Charity biasa dimaksudkan untuk memberi bantuan untuk kebutuhan dan masalah yang sifatnya sesaat dan mendesak, misalnya bantuan bencana alam, bantuan dana, makanan, pakaian, obat-obatan, dll.
Konsep philanthropy selalu memakna yang lebih luas, dimana hibah ditujukan untuk kegiatan yang bersifat investasi social. Program ini bertujuan untuk melakukan penguatan masyarakat dan sekaligus modal social (social capital) dalam bentuk program peningkatan SDM, pengembangan ekonomi, peningkatan eksistensi lembaga masyarakat dalam upaya mengatasi masalah social yang timbul dimasyarakat dengan pendekatan keberlanjutan (sustainability).
Konsep ini CSR ini memiliki perbedaan mendasar dengan corporate filantropy. Filantropy sifatnya lebih berorinetasi eksternal dunia usaha sedang CRA menitik beratkan keseimbangan antara aspek eksternal maupun internal, misalnya; masalah karyawan, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), kegiatan usaha yang ramah lingkungan dan berbagai aspek internal lainnya.
TIDAK TAHU ATAU TIDAK PEDULI
Tanggungjawab social sebagai peran yang harus diemban oleh dunia usaha, belum cukup populer di kalangan pelaku bisnis di Indonesia. Peran yang lebih dominan adalah bagaimana dunia usaha memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan memberdayakan segenap potensi yang ada. Kondisi ini sangat jelas terlihat dari budaya yang tercermin dari polah tingkah manajemen, staff, karyawan serta keluarga karyawan dari perusahaan tersebut. Secara tidak langsung praktek dunia usaha ini telah membangun jarak serta tembok pemisah dan pembeda antara dunia usaha dengan masyarakat yang ada disekitarnya. Budaya ini telah melahirkan ego, kesombongan dan kepogahan yang menempatkan mereka sebagai sebuah tembok besar yang merasa kuat sendiri dan tidak pernah merasa perlu dukungan, kerjasama dan bantuan dari masyarakat disekitarnya. Tak jarang kesdaran baru muncul setelah mengalami banyak masalah, menghadapi banyak tuntutan dan menjalani masa sulit akibat perusahaan tidak bias beroperasi dan harus angkat kaki.
Pemahaman tanggungjawab social yang dianut sebagian dunia usaha saat ini masih sebatas konsep liberalisme yakni mencari keuntungan sebagai tugas utama dan kepedulian social hanya sebatas mensejahterakan pekerjanya saja. Kondisi semacam ini bias terlihat jelas dimasyarakat kita termasuk Riau. Disetiap daerah yang ada berkembang industri akan terlihat perbedaan yang sangat kontras antara fasilitas dan gaya hidup karyawan dan keluarga di komplek dengan masyarakat diluar komplek. Kondisi ini seperti mempertontonkan kesombongan dan sengaja memancing kemarahan. Adanya pemahaman akan nilai dan kultur budaya serta ditopang semangat untuk menjadi bagian dari masyarakat melalui semangat tumbuh dan berkembang bersama masayarakat adalah solusi terbaik untuk keharmonisan kedua belah pihak. Tapi kenyataan yang terlihat tidak sedikit perusahaan di Indonesia yang tidak peduli sama sekali dengan kesejahteraan karyawan yang seharusnya dipandang sebagai asset, apalagi mau peduli dengan masyarakat dan lingkungan.
Kesadaran dan komitmen dunia usaha dalam memenuhi tanggungjawab sosialnya dianggap sebagai sebuah keputusan yang bertolak belakang dengan tujuan keberadaan perusahaan yang ingin mengeruk keuntungan sebanyak mungkin. Melaksanakan CD Program sebagai salah satu tanggungjawab social perusahaan dianggap pekerjaan yang tidak perlu dan mengacaukan misi utama untuk mencari keuntungan.
Penganut paham Liberal membedakan secara jelas peran dunia usaha dan negara. Dunia usaha berperan memproduksi barang dan jasa dalam upaya meraih keuntungan sebesar-besarnya. Harapannya dari kegiatan dunia usaha itu akan ada pemasukan pajak dan akan dimanfaatkan pemerintah untuk kegiatan pembangunan. Dari pajak ini pemerintah memberikan perlindungan ekonomi dan social bagi mereka yang kalah dalam kompetisi pasar. Jadi tanggungjawab mensejahterakan masyarakat itu berada ditangan pemerintah.
Saat ini pandangan klasik tersebut mendapat tantangan dari berbagai kelompok kritis. Dunia usaha dituntut tidak hanya mematuhi aturan social (perundangan-undangan) yang ada, tetapi juga diharapkan mulai menajamkan aspek moral dalam pengambilan keputusan. Meskipun pajak yang ditarik dari mereka selama ini menjadi sumber bagi kesejahteraan social, tetapi dinilai belum cukup. Terkurasnya daya dukung lingkungan akibat eksploitasi berlebihan dari dunia usaha merupakan tangungjawab yang harus ikut dipikul dunia usaha, sangat terasa tanggungjawab ini belum cukup terpenuhi jika hanya diukur dari keharusan membayar pajak kepada Negara saja. Dunia usaha selayaknya berperan langsung untuk melakukan upaya-upaya investasi social.
Terlihat nyata perubahan pemikiran ini berangkat dari kenyataan social yang diperlihatkan Negara-negara modern, telah mengalami perubahan dalam memahami realitas social. Jika dulunya mereka sangat individualis sekarang telah bergeser menjadi masyarakat yang sangat komunal (communitarianism). Jika dulu hanya menghargai kepemilikan pribadi (property right) saat ini masyarakat juga menghargai adanya hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat (right and duty of membership).
Disisi lain keserakahan dunia usaha dalam melakukan aktifitas kegiatan mencari keuntungan telah menyadarkan masyarakat, bahwa perilaku dunia usaha yang tidak peduli lingkungan dan masyarakat disekitarnya telah membawa penderitaan. Kesadaran social ini berbalik menjadi sebuah kekuatan social yang menuntut dunia usaha harus peduli. Pengalaman dan sejarah telah mempertontonkan keangkuhan dan kesombongan dunia usaha, berbuah kebangkrutan akibat mengabaikan kekuatan social masyarakat disekitar wilayah operasionalnya. Hal lain mendorong munculnya pemikiran perlu tanggungjawab social karena adanya pergeseran kepemilikan dunia usaha dari kepemilikan pribadi menjadi kepemilikan public, secara tidak langsung bermakna perusahaan tidak lagi hanya sebatas institusi bisnis tetapi telah bergeser menjadi institusi social. Dunia usaha tidak hanya bertugas mencari keuntungan tetapi juga harus berperan menjadi institusi yang memiliki tanggungjawab social.
TANGGUNG JAWAB SOSIAL SEBAGAI KEWAJIBAN
Tidak ada pilihan bagi dunia usaha saat ini, menjalankan tanggung jawab sosialnya atau ditutup secara paksa oleh masyarakat. Cara-cara lama dengan pendekatan kekuasaan meredam suara-suara dari masyarakat atau kelompok kepentingan lain dengan represi bukanlah langkah yang tepat untuk masa ini. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan masih banyak dunia usaha yang memilih untuk “bermitra” dengan pihak keamanan dibandingkan membangun hubungan yang sungguh-sungguh dan harmonis dengan masyarakat. Hubungan harmonis yang semu itu kemudian benar-benar merepotkan perusahaan ketika masyarakat luas tidak lagi bisa ditakut-takuti dengan moncong senjata.
Kenyataan pahit yang dihadapi dunia usaha yang tidak peduli disusul dengan tumbangnya regim Orde Baru dan menguatnya atmosfer keterbukaan, seharusnya menjadi perhatian semua pihak khususnya dunia usaha. Masyarakat saat ini menjadi semakin berani berhadapan dengan dunia usaha yang operasinya mempengaruhi kehidupan mereka (tidak memberikan dampak positif yang langsung bisa dirasakan).
Tidak ada pilihan, tanggungjawab social harus dipertajam dunia usaha. Membangun strategi baru dalam upaya berinteraksi dengan masyarakat harus dilakukan dengan mempertegas komitmen dan menyusun program-program yang berbasis local dalam rangka melakukan proses pemberdayaan masyarakat. Semua ini adalah konsekuensi dari lingkungan sosial baru yang harus dihadapi oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia, karena tidak ada lagi yang bisa dikategorikan sebagai isu lokal.
Kepada dunia usaha disarankan untuk memperoleh dua bentuk perijinan agar dapat beroperasi dengan baik dan lancar, yaitu izin legal dari pemerintah dan izin sosial dari masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, pertanyaan penting yang harus dijawab oleh setiap dunia usaha adalah bagaimana menjalankan usaha tanpa merusak lingkungan, berusaha dengan tetap meningkatkan kemampuan membangun masyarakat lokal dan menyusun strategi agar keuntungan terdistribusi dengan baik di antara para pemangku usaha dan stakeholder sambil meningkatkan snowbolling effect dampat dari kehadiran dunia usaha.
Belum duduknya pemahaman tentang corporate social responsibility, menurut Laboratorium Sosiologi UI sangat berbahaya karena menimbulkan kondisi di mana dunia usaha beroperasi sebagai quasi-state atau setengah-negara. Dampak beroperasinya dunia usaha sebagai setengah-negara, di antaranya adalah: Pertama, dapat membuat tanggung jawab perusahaan menjadi lebih berat dari yang sesungguhnya harus dilakukan. Perusahaan bukanlah entitas negara yang memiliki tujuan melakukan redistribusi kekayaan melalui pajak, melainkan entitas bisnis yang mencari keuntungan dengan dibatasi oleh tanggung jawab sosial dan lingkungan. Apabila pengembangan masyarakat tidak didefinisikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan, maka tuntutan untuk memberikan lebih dari yang seharusnya akan terjadi. Kedua, pemerintah dihadapkan pada moral hazard di mana tanggung jawab yang seharusnya diemban, kemudian dilemparkan kepada perusahaan begitu saja sehingga menimbulkan sinergi negatif di tingkat operasional lapangan.
Banyak kasus terjadi pemerintah memindahkan beban pembangunan kepada pihak dunia usaha, setelah proyek tersebut selesai pemerintah mengklaim bahwa proyek itu dilakukan pemerintah. Kondisi ini tentunya memunculkan pendanaan ganda yang akan merugikan Negara.
Berangkat dari pemikiran diatas, definisi yang jelas tentang tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) harus dipatok dalam sebuah payung hukum. Payung hukum ini juga diharapkan mampu menjelaskan posisi dunia usaha sebagai bagian dari masyarakat yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah dalam rangka mencari keuntungan dan tidak melupakan fungsi social dan lingkungannya. Payung hukum yang bisa saja berupa Perda disisi lain juga mempunyai nilai penting untuk memberikan porsi adil bagi setiap dunia usaha, sehingga tidak ditumpukan tanggungjawab social pada satu perusahaan disisi lain ada dunia usaha yang tidak peduli tetapi bisa berlindung dan tetap aman sambil terus menutup diri dan membangun tembok tinggi.
KUNCI SUKSES CONDEV
Ada lima kunci sukses agar program community empowerment atau lebih popular disebut juga program community development bisa berjalan lancer dan sukses, antara lain: Pertama, komitmen harus lahir dari pemilik perusahaan atau manajemen puncak. Hal ini penting karena akan terkait dengan seluruh hal yang mendukung terlaksananya dan suksesnya program.
Kedua, memiliki konsep yang jelas dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat, sasaran dan target dari perusahaan sendiri. ketiga- harus memiliki sumberdaya manusia yang bisa menjalankan konsep serta struktur organisasi yang kuat dengan otoritas penuh. Sebaiknya dibentuk departemen atau divisi khusus dipimpin oleh seorang Direktur Program. Keempat - memiliki program yang berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki daerah binaan sedang yang kelima adalah pendanaan yang cukup untuk menjalankan program.
Diluar lima aspek yang menjadi kunci sukses terlaksananya program tersebut, kerjasama dan dukungan public relations dalam mengemas serta mengkomunikasikan program ini menjadi penting dalam upaya membuka peluang untuk semua komponen masyarakat terlibat memberikan saran, nasehat dan dukungan untuk eksistensi program dan juga dunia usaha.
sumber : http://ekonomi.kompasiana.com/group/bisnis/2010/05/26/dunia-usaha-harus-punya-tanggungjawab-sosial/
sumber : http://ekonomi.kompasiana.com/group/bisnis/2010/05/26/dunia-usaha-harus-punya-tanggungjawab-sosial/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar